Boikot Media Pers dan Human Rights Convention

Bak petir di siang bolong, tak ada hujan tak ada mendung, petir itu menggelegar-nggelegar di Kota Bogor, tetapi ia menyambar tiga tiang media pers yang berlokasi di Jakarta. Jauh memang, tetapi itulah 'petir' masa reformasi. Yang kena sambar, pertama stasiun televisi nasional TVOne, Metro TV, dan surat kabar nasional Media Indonesia. Dua media disebut terakhir pun akhirnya kebakaran pula. Buktinya, pada Rabu (23/2) sore, keduanya menyerahkan sambaran itu ke kuasa hukumnya, OC Kaligis. Pengacara kondang itu pun menyambut sambaran itu dengan menggelar konferensi pers, yang pada intinya memperingatkan secara tertulis (somasi) kepada sang pelempar petir agar mencabut pernyataannya dan yang bersangkutan meminta maaf dalam waktu 3 x 24 jam, jika tidak, akan dilanjutkan ke proses pro justitia. Seru tampaknya, bahkan bisa lebih seru lagi karena yang kena petir pun sebenarnya tidak ketiga institusi pers tersebut saja, tetapi juga warga negara Indonesia umumnya yang sehari-hari membutuhkan akses informasi, fakta, dan data tentang siapa melakukan apa dan apa yang dilakukan pemerintah. Itulah yang biasa disampaikan ketiga institusi pers tersebut. Kapan 'petir' itu terjadi dan adakah implikasi hak asasi manusia (HAM)-nya?

Petir itu terjadi pada Senin hingga Selasa (21/2-22/2) yang lalu, ketika sejumlah menteri Kabinet Bersatu II mengikuti rapat kerja yang berlangsung di Istana Bogor, Jawa Barat. Di sela-sela rapat tersebut, Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang juga mantan aktivis mahasiswa angkatan 1966, konon, menginstruksikan kepada kementerian dan lembaga negara untuk tidak memasang iklan kepada media yang selama ini mengkritisi pemerintah. Selain itu, ia melarang seluruh staf khusus kepresidenan untuk menghadiri undangan interview dalam acara prime time. Bahkan Dipo Alam menyebutkan secara spesifik media yang dimaksud, yaitu Metro TV, TV One, dan Media Indonesia, dengan alasan ketiga media dimaksud memberitakan sesuatu yang menjelek-jelekkan pemerintah secara berulang-ulang. Misalnya saja mengkritisi dan merepetisi gambar-gambar kerusuhan dalam durasi panjang dengan narasi Indonesia seolah sedang menuju negara gagal. Gambaran demikian itu dipandang serius sebagai salah satu faktor yang akan dan telah mengganggu masuknya investasi ke Indonesia sehingga perlu ada boikot.

Satu sisi, alasan itu dapat dipahami sebagai yang benar mengingat telah menjadi kelaziman prasyarat tumbuhnya iklim investasi bahwa iklim investasi yang baik memang ditentukan salah satu faktornya adalah keamanan. Artinya, merepetisi gambar-gambar kerusuhan dan narasi Indonesia seolah sedang menuju negara gagal menggambarkan kondisi negeri Indonesia tidak aman dan kurang nyaman untuk berinvestasi. Namun, sisi lain belum tentu demikian, misalnya saja sisi hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks HAM, ajakan pemboikotan tersebut, lebih-lebih jika ajakan itu telah dilaksanakan secara manjur, tentu menjadikan iklim pemajuan dan pemenuhan HAM warga negara Indonesia menjadi kurang sehat, terutama dalam hal tidak terpenuhinya akses informasi yang luas, fakta akurat, dan data valid yang ada dan dimiliki pejabat pemerintahan dan lembaga negara. Padahal, media pers itulah yang selama ini mampu menjembatani kelancaran arus lalu lintas informasi, fakta, data dari pemerintah ke masyarakat luas sebagai satuan warga negara Indonesia, dan tentu sebaliknya.

Human Rights Convention
Convention yang dimaksud di sini adalah Constitutional Convention on Human Rights yang baik secara durasi (duration), konsistensi (consistency), kesamaan (similarity), dan kelaziman (generally) bahwa pengaturan HAM telah menjadi sebuah kemapanan lama dalam konstitusi Indonesia. Sebut saja misalnya, secara konstitusional HAM telah menjadi kesepakatan nasional bangsa Indonesia, sekadar mengingatkan dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Kemudian secara berturut-turut dalam konstitusi yang pernah diberlakukan adalah sebagai berikut: dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949, disebutkan pada Pasal 19 bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat (the right to freedom of opinion and expression), Undang-Undang Dasar Sementara 1950 disebutkan pada Pasal 40, bahwa adanya hak atas kebebasan kebudayaan dan ilmu pengetahuan (the right to culture and scientific freedom). Setelah itu, dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945.

Bahkan, upaya melindungi hak dasar manusia yang disebut HAM warga negara Republik Indonesia telah menjadi tuntutan dalam kehidupan berdemokrasi yang berlangsung sejak era reformasi 1998. Hitung saja pengaturannya, saat itu, bangsa Indonesia melalui wakil-wakilnya di MPR telah mengambil suatu sikap tegas dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengesahkan ketetapan No XVII/MPR/1998 mengenai HAM yang memuat Piagam HAM, diikuti pula perubahan tahap kedua UUD 1945 yang memasukkan pasal-pasal mengatur tentang pemajuan dan perlindungan HAM. Ada muatan materi HAM dalam perubahan tahap kedua UUD 1945, misalnya Pasal 28 F Bab XA, bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Dengan demikian, dalam durasi 66 tahun sejak 1945 hingga 2011 ini konstitusi kita telah secara konsisten tidak pernah meninggalkan hak kebebasan warga untuk memperoleh akses informasi, fakta, data dari media dan lebih-lebih era reformasi ini. Dan, jika ajakan itu manjur dan benar-benar dilaksanakan, berarti sebagian kebebasan warga negara untuk mengakses informasi, fakta, dan data tentang siapa (pejabat pemerintah) melakukan apa, apa yang sedang dan telah terjadi di lingkungan pemerintahan menjadi terganggu dan tersumbat karena informasi dan fakta tidak sampai pada rakyat banyak. Dengan kata lain, ajakan demikian itu dapat dikatakan kurang sehat dan jauh dari maksud konvensi tentang kebebasan untuk memperoleh informasi, fakta, data yang telah jelas diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, dalam konteks HAM, satu hal yang perlu disadari adalah, bagi pihak pers, ada sebagian mata acara/tulisan media pers yang mengganggu keberadaan hak orang lain termasuk penyelenggara pemerintahan, dan pada saat sama ajakan boikot itu juga mengganggu hak asasi orang lain, bahkan dapat lebih luas, dalam, dan jauh lagi implikasinya.

Boikot dari rakyat
Rakyat sebenarnya juga tidak lugu-lugu amat dalam mengakses informasi media cetak dan elektronik. Katakanlah isu kerusuhan beberapa hari lalu, pemirsa pun juga jenuh karena pelakunya diduga itu-itu juga. Selain itu, usulan hak angket mafia pajak yang sering dipapar berulang-ulang oleh media cetak dan elektronik menampilkan anggota dewan teriak-teriak dan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pemirsa pun jenuh dan mengalihkan salurannya ke acara yang lebih bisa mengundang tawa daripada stres karena yang teriak-teriak toh itu-itu juga orangnya. Pendek kata, ajakan boikot dari atas tidak akan efektif dan justru akan berimplikasi pada seretnya pemajuan dan pemenuhan HAM dan kurang konsisten dengan konstitusi. Biarkan boikot itu datang dari rakyat. Dan, Jawablah kritikan itu dengan 'bekerja habis-habisan'.

Nilai Kebinekaan yang Pudar dan Kekerasan Atas Nama Agama

Peristiwa kekerasan di negeri ini kembali terjadi. Hal ini menyusul penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, dan pembakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah. Kedua kekerasan itu bukan peristiwa baru di negeri ini karena kekerasan serupa selalu muncul dan kerap mengorbankan kelompok-kelompok minoritas. Kekerasan atas nama agama atau apa pun merupakan bagian dari ancaman terhadap Bhinneka Tunggal Ika (berbeda, tetapi tetap satu), filosofi negara tercinta ini.

Mitos bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dijuluki ramah dan halus budi pekerti seakan terpatahkan. Kini, anak bangsa seakan sudah terperangkap dalam menawarkan upaya dengan menggunakan kekerasan dan terkadang dengan mendalihkan ajaran agamanya, entah itu benar atau tidak, rasional atau emosional.

Lalu mengapa semua itu bisa terjadi? Mengapa bangsa yang katanya berbudi luhur, ramah dan entah kualifikasi apa yang hendak diberikan kepada bangsa ini menjadi semacam homo homini lupus dalam hampir seluruh bidang kehidupan, termasuk bidang spiritual, dari strata atas sampai pada yang di bawah. Tentu akan ada banyak jawaban yang dapat diberikan, bergantung dari sudut pandang dan pangkal tolak analisis. Tetapi satu hal yang mungkin dapat dipakai untuk pokok bahan renungan kita semua tanpa kecuali: rasa persaudaraan sesama anak bangsa saat ini sudah memudar. Ikatan persaudaraan sesama anak bangsa yang disimbolkan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika sedikit demi sedikit kian memudar. Egoisme dan fanatisme sempit kian menguat.

Kekerasan yang terjadi di Cikeusik dan Temanggung jangan sekadar dipandang dari permasalahan agama. Negeri ini akan terjebak dan terjerumus ke dalam 'lubang fundamentalisme' jika melihat kekerasan di Cikeusik dan Temanggung atau tempat-tempat lain dari kacamata agama. Padahal, negara ini dibangun bukan untuk penganut agama tertentu atau suku tertentu, melainkan untuk semua anak bangsa dengan pelbagai perbedaan.

Dari sisi teori, banyak faktor penyebab tindakan kekerasan dalam suatu masyarakat. Namun dalam perkara ini, penulis sepakat dengan pernyataan Hassan Hanafi dalam bukunya Agama, Kekerasan & Islam Kontemporer (2001), bahwa kekerasan merupakan antitesis dari ketidakadilan dan ketertutupan pemerintahan. Kekerasan muncul untuk mempertahankan eksistensi nilai-nilai kemanusiaan karena situasi ketidakadilan sosial. Sangat mungkin terjadi jika institusi politik (pemerintahan) yang tidak dipercaya.

Tindakan kekerasan dimulai setidaknya dari beberapa fase yakni, pertama, adanya perasaan mendalam dari individu atau kelompok akan ketidakadilan dan keputusasaan; kedua, ketidakberdayaan individu atau kelompok dalam mengubah ketidakadilan tersebut melalui segala cara tanpa kekerasan; ketiga, ketiadaan dialog antara pelaku ketidakadilan dan korbannya, atau mungkin ada namun sekadar dialog semu (bisu).

Kekerasan akan terus terulang jika situasi ini terjadi bahkan dibiarkan pengelola institusi politik (pemerintahan). Supremasi hukum dan konstitusi yang seharusnya ditegakkan akan tetapi diabaikan aparatur negara. Negara yang seharusnya melindungi setiap warga negaranya, baik kaum mayoritas maupun minoritas, akan tetapi terlihat sebagai penonton ketika meletus peristiwa kekerasan. Kondisi ini seakan terbukti ketika Foreign Policy memperkirakan peringkat Indonesia dalam indeks negara gagal pada 2011 akan naik dari peringkat 62 yang dicapai pada 2010. Peringkat itu membuat posisi Indonesia masuk pada kategori 'dalam bahaya'. Artinya, jika berbagai masalah tidak segera tertangani, negeri ini akan masuk hitungan 60 negara gagal.

Peran pemerintah

Pada suatu kesempatan, peraih nobel bidang ekonomi Amartya Sen (1998) pernah memberikan nasihat kepada akademisi, pelaku politik termasuk para pengelola institusi politik (pemerintahan). Dalam nasihat itu, dia mengemukakan,"Ketidakadilan merupakan ciri penting dalam terjadinya kelaparan dan krisis hebat lainnya. Tentu saja, ketiadaan demokrasi (keterbukaan informasi) dengan sendirinya merupakan ketidakadilan, dalam hal ini ketidakadilan dalam soal hak ekonomi dan kekuatan politik. Akan tetapi kita harus melihat secara khusus hubungan antara (1) ketidakadilan politik dalam bentuk pemerintahan nondemokratik dan (2) pemiskinan dan ketimpangan ekonomi terjadi akibat ketidakadilan ekonomi yang parah dan terkadang meningkat dengan tiba-tiba."

Dengan nasihat itu, Sen memiliki keyakinan bahwa hanya dengan menerapkan sistem demokrasi menjadi langkah utama untuk mengurangi angka kemiskinan dan menutup pintu ketidakadilan. Demokrasi menuntut adanya pemerintahan yang terbuka (open government), di mana terdapat keterbukaan informasi publik. Begitu pentingnya keterbukaan informasi, hingga beberapa kalangan menyebutnya hak keterbukaan informasi publik ini sebagai 'oksigen demokrasi'. Sebab tanpa penegakan hak atas informasi, kewenangan yang telah diberikan kepada negara tidak disertai dengan mekanisme untuk mempertanggungjawabkannya kepada publik.

Konsep open government bisa dilaksanakan hanya dengan melakukan reformasi birokrasi. Karena itu, pelaksanaan reformasi birokrasi sepenting peningkatan kesejahteraan masyarakat. Membahas reformasi birokrasi sama artinya dengan mengupayakan restrukturisasi dan reposisi sistem dan perilaku birokrasi pemerintah menuju tata kepemerintahan yang baik (good governance). Upaya semacam ini dilakukan setelah kita mengalami dan merasakan bahwa sistem dan perilaku selama ini tidak lagi sesuai dengan keinginan kita. Namun melakukan perubahan gaya organisasi yang sudah mapan tidak mudah.

Mengutip Miftah Toha, setiap upaya melakukan perubahan besar seperti melakukan restrukturisasi dan reposisi kelembagaan birokrasi publik yang seharusnya dilakukan dalam suasana reformasi ini tak ubahnya sebagai suatu perjalanan yang melelahkan. James Champy (1997) dalam tulisannya Preparing for Organizational Change, menyatakan perubahan organisasi itu ibarat suatu perjalanan. Bagi setiap pejabat publik pemerintahan, perjalanan tersebut merupakan perjalanan tanpa akhir.

Namun ada baiknya kita mengutip pernyataan Thomas Jefferson (1807), "Bila seseorang mendapat kepercayaan publik (menjadi pejabat publik), ia harus memandang dirinya milik publik (milik negara)". Pernyataan itu menegaskan bahwa esensi reformasi birokrasi adalah seorang yang diangkat menjadi pejabat publik diharuskan memiliki pemahaman bahwa dirinya merupakan milik publik sehingga tindakan dan kebijakan yang diambil harus berdasarkan kepentingan publik. Esensi reformasi birokrasi juga dapat diartikan mengubah manajemen pemerintahan dari berorientasi pada aspek pemerintahan (government) kepada kepemerintahan (governance).

Pada paradigma government orientasi kekuasaan masih kuat, peranan aktor masyarakat dan aktor nonpemerintahan belum berjalan secara optimal. Sedangkan pada paradigma governance terdapat perubahan management di mana ada kondisi mencairnya pemusatan kekuasaan baik vertikal maupun horizontal sehingga terjadi proses check and balance dengan rakyat. Perubahan aspek ini juga menandakan bahwa orientasi kekuasaan tidak lagi berpusat pada penguasa yang mengemudikan pemerintahan itu, melainkan pada proses di mana rakyat memegang peran utamanya. Pelayanan terbaik kepada rakyat menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi dihindari. Keadaan ini mengakibatkan asas demokrasi dan desentralisasi merupakan tuntutan yang mendesak (Muchlish Hamdi: 2009).

Patut ditekankan pula, berbicara birokrasi bukan berbicara individu (personal), namun berbicara birokrasi adalah berbicara sistem. Artinya, reformasi di tubuh birokrasi bukan hanya sekadar melakukan pembenahan person to person yang menjabat (pejabat), melainkan pembenahan sistem organisasi (lembaga pemerintahan). Paradigma inilah yang harus diluruskan. Terkadang jika muncul kasus di tubuh birokrasi, yang disorot hanyalah sekadar personal, bukan dilihat dari sistem yang ada di dalam tubuh birokrasi itu sendiri.

Dengan sistem birokrasi yang transparan, berorientasi kepada pelayanan publik, dan berorientasi kemaslahatan rakyat, peluang peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan terbuka lebar. Peluang tindak kekerasan yang berbungkus agama pada negara-negara yang memiliki tingkat kesejahteraan dan kemakmuran tinggi (developed country) kecil. Sebaliknya, pada negara-negara yang tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya rendah, praktik kekerasan tinggi. Karena itu, pelaksanaan reformasi tidak sekadar bertujuan membenahi sistem pemerintahan, akan tetapi turut mengurangi angka tindakan kekerasan dalam sebuah negara.

Perumahan Berperan dalam Kemacetan

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama ini kemacetan Jakarta selalu dikaitkan dengan pertumbuhan jalan yang lambat serta kenaikan pengunaan kendaraan pribadi yang begitu tinggi.
Padahal, menurut pengamat kebijakan publik, Andrinof Chaniago, penyebab mendasar kemacetan di Jakarta karena sektor perumahan yang belum terpenuhi dalam pembangunan ibukota.
"Bidang yang terkait langsung dengan transportasi adalah sektor perumahan. Tapi, kebijakan perkotaan kita selalu mengabaikan atau menyediakan peran kecil pada peran pemerintah akan tanah dan perumahan. Sebagian besar dari kita melihat hubungan sebab akibat soal kemacetan keliru," ungkap Andrinof, Jumat (4/3/2011), dalam diskusi "Perseteruan SBY dan Foke, Mengurai Persoalan Infrastruktur", di Galeri Cafe, Jakarta.
Ia menjelaskan, saat ini kemacetan di Jakarta disebabkan mulai padatnya penduduk di ibukota serta tingginya angka mobilisasi warga dalam sehari. Tercatat penduduk Jakarta saat siang hari mencapai 11 juta jiwa, sementara di saat malam hari mencapai 8-9 juta jiwa.
Angka tersebut menandakan ada sebanyak 1-2 juta warga yang berasal dari luar kota. Sementara angka mobilisasi mencapai 26 juta sehari. Dengan semakin tingginya mobilisasi, penggunaan kendaraan pribadi semakin tinggi lantaran angkutan umum juga belum memadai.
"Angkanya tidak akan sebesar itu kalau mereka punya tempat tinggal dekat dengan tempat kerjanya, seperti di Singapura paling lama sampai kantor 30 menit. Industri mobil atau motor juga tidak bisa disalahkan, karena mereka terpaksa pakai motor atau mobil karena perjalanan jauh akibat rumah yang berada di pinggiran seperti di Bojong Gede ," ungkap Andrinof.
Dengan demikian, kepadatan penduduk semakin terjadi demikian pula dengan angka arus kendaraan pribadi yang masuk ke Jakarta. Maka terjadilah kemacetan. Oleh karena itu, untuk memangkas mobilitas yang begitu tinggi tersebut, Andrinof menyarankan pemprov harus bertindak tegas soal penyediaan lahan untuk tempat tinggal.
"Salah satunya dengan morotarium izin bangunan pencakar langit dan dorong terbitkan izin bangunan untuk rusun. Jadi dengan begitu akan tumbuh rusun, serta bangunan-bangunan tinggi akan menyingkir ke pinggir Jakarta, karena sekarang kota ini sudah terlalu padat," ujarnya.
Hal lain yang perlu diubah, lanjut Andrinof, adalah paradigma masyarakat akan tempat tinggal. "Pola pikir feodal kalau rumah harus ada pekarangan harus diubah. Masyarakat harus siap dengan ruang yang sangat efisien," tuturnya.
Langkah konkret lain yang bisa dilakukan pemprov, ungkap Andrinof adalah dengan menyisakan APBD senilai Rp 1 triliun untuk dana pembangunan apartemen murah.
"Bangunlah apartemen murah seperlunya, hapus istilah rumah susun, karena itu diskriminatif. Pemerintah harus ambil peran yang tepat dalam hal pengadaan rumah kalau mau ingin menuju kota besar," tandasnya.

Beasiswa ke AS bagi Profesional Muda

KOMPAS.com - Program beasiswa Hubert H. Humphrey sudah dibuka dan ditawarkan bagi para profesional tingkat-menengah Indonesia untuk mengambil program nirgelar. Program ini menggabungkan perkuliahan tingkat pascasarjana dengan kegiatan pengembangan keprofesionalan di Amerika Serikat (AS) selama 9 bulan.
Bagi yang berminat, pendaftar yang disyaratkan umumnya adalah lulusan S-1 yang bekerja sebagai tenaga administrator dalam posisi memimpin dan berpengalaman kerja sedikitnya 5 tahun di lembaga publik atau swasta nirlaba, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkomitmen pada pelayanan masyarakat.
Selain bergelar Sarjana (S-1) dengan IPK minimal 2.75 (pada skala 4,00), pelamar harus memiliki ITP/iBT Toefl minimal 525 atau IELTS 5.5. Adapun bidang-bidang studi yang direkomendasikan untuk meraih beasiswa ini adalah Teknologi Pangan/Pertanian, Komunikasi/Jurnalistik, Studi Pembangunan Ekonomi, Perbankan dan Keuangan, Sumber Daya Manusia, Analisa Kebijakan dan Administrasi Publik, Manajemen dan Kebijakan Teknologi, Perencanaan Daerah dan Perkotaan, Manajemen dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat, (termasuk bidang pendidikan dan kebijakan pencegahan dan penularan HIV/AIDS).
Pelamar yang berminat, informasi beasiswa selengkapnya bisa dilihat di http://www.aminef.or.id. Pelamar harus mengisi dan melengkapi formulir pendaftaran ini dan dikirim ke kantor AMINEF (The American Indonesian Exchange Foundation) di Gedung Balai Pustaka, lantai 6, Jl. Gunung Sahari Raya 4, Jakarta 10720.
Batas waktu penyerahan formulir beasiswa ini dibatasi sampai 15 April 2011.

KPK Diminta Usut Manipulasi Pajak Perusahaan

JAKARTA, KOMPAS.com -  Gerakan Tokoh Lintas Agama meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan manipulasi pajak oleh sejumlah perusahaan.
Dugaan manipulasi pajak yang membuat restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) terlampau besar tersebut mengakibatkan penerimaan pajak 2010 tidak mencapai target.
"Keterangan fiskal Kementrian Keuangan, penerimaan pajak 2010 tidak sampai target karena ada restitusi terbesar sepanjang sejarah hingga Rp 40 triliun totalnya. Dari 40 itu, 26 adalah restitusi untuk PPN (Pajak Pertambahan Nilai)," ujar perwakilan Gerakan Tokoh Lintas Agama, Sasmito Hadinagoro seusai bertemu pimpinan KPK, Jumat (4/3/2011) petang.
Sasmito melanjutkan, nilai restitusi PPN yang mencapai Rp 26 triliun tersebut dinilai tidak wajar.
"Kalau restitusi sampai Rp 26 triliun, ini persoalan. Apa iya sih bahan baku dari eksportir sampai Rp 260 triliun?, restitusi itu kan 10 persen dari nilai pembelian. Ada rekayasa yang dilakukan aparat pajak dengan perusahaan," tambah Sasmito.
Dikatakannya, sebanyak enam perusahaan yang mendapat restitusi tertinggi diduga melakukan manipulasi dengan menggunakan faktur pajak fiktif. "Yang nilai kerugian negaranya triliunan rupiah," kata Sasmito.
Menurut data Badan Pemeriksa Keuangan, lanjutnya, tiga dari enam perusahaan tersebut adalah perusahaan kelapa sawit yakni perusahaan PHS, WN, AAG.
"PHS retritusi Rp 1,9 triliun dalam 10 bulan tapi belum disetujui. Bisa disimpulkan beli bahan baku hingga Rp 19 triliun. Masak iya? Kalau WN, Rp 1,8 triliun sudah disetujui. Kalau AAG, saya lupa angkanya," papar Sasmito.
Gerakan Tokoh Lintas Agama berharap, KPK menindaklanjuti informasi yang disampaikan terkait dugaan manipulasi pajak perusahaan tersebut.
"Dengan tidak terbentuknya pansus angket mafia pajak, sebagai aparat penegak hukum yang dipercaya, maka kami sampaikan informasi lengkap kepada KPK yang masih dipercaya. Jangan sampai orang enggan bayar pajak lagi," ungkapnya.
Selain menyampaikan laporan dugaan manipulasi pajak, Gerakan Tokoh Lintas Agama menyampaikan pengaduan masyarakat yang dihimpun dari rumah pengaduan Badan Pekerja Gerakan Tokoh Agama di 13 kota.
Salah satu pengaduannya adalah tentang dugaan suap dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Gerakan Tokoh Lintas Agama juga menyatakan dukungan moral mereka terhadap KPK.