Boikot Media Pers dan Human Rights Convention

Bak petir di siang bolong, tak ada hujan tak ada mendung, petir itu menggelegar-nggelegar di Kota Bogor, tetapi ia menyambar tiga tiang media pers yang berlokasi di Jakarta. Jauh memang, tetapi itulah 'petir' masa reformasi. Yang kena sambar, pertama stasiun televisi nasional TVOne, Metro TV, dan surat kabar nasional Media Indonesia. Dua media disebut terakhir pun akhirnya kebakaran pula. Buktinya, pada Rabu (23/2) sore, keduanya menyerahkan sambaran itu ke kuasa hukumnya, OC Kaligis. Pengacara kondang itu pun menyambut sambaran itu dengan menggelar konferensi pers, yang pada intinya memperingatkan secara tertulis (somasi) kepada sang pelempar petir agar mencabut pernyataannya dan yang bersangkutan meminta maaf dalam waktu 3 x 24 jam, jika tidak, akan dilanjutkan ke proses pro justitia. Seru tampaknya, bahkan bisa lebih seru lagi karena yang kena petir pun sebenarnya tidak ketiga institusi pers tersebut saja, tetapi juga warga negara Indonesia umumnya yang sehari-hari membutuhkan akses informasi, fakta, dan data tentang siapa melakukan apa dan apa yang dilakukan pemerintah. Itulah yang biasa disampaikan ketiga institusi pers tersebut. Kapan 'petir' itu terjadi dan adakah implikasi hak asasi manusia (HAM)-nya?

Petir itu terjadi pada Senin hingga Selasa (21/2-22/2) yang lalu, ketika sejumlah menteri Kabinet Bersatu II mengikuti rapat kerja yang berlangsung di Istana Bogor, Jawa Barat. Di sela-sela rapat tersebut, Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang juga mantan aktivis mahasiswa angkatan 1966, konon, menginstruksikan kepada kementerian dan lembaga negara untuk tidak memasang iklan kepada media yang selama ini mengkritisi pemerintah. Selain itu, ia melarang seluruh staf khusus kepresidenan untuk menghadiri undangan interview dalam acara prime time. Bahkan Dipo Alam menyebutkan secara spesifik media yang dimaksud, yaitu Metro TV, TV One, dan Media Indonesia, dengan alasan ketiga media dimaksud memberitakan sesuatu yang menjelek-jelekkan pemerintah secara berulang-ulang. Misalnya saja mengkritisi dan merepetisi gambar-gambar kerusuhan dalam durasi panjang dengan narasi Indonesia seolah sedang menuju negara gagal. Gambaran demikian itu dipandang serius sebagai salah satu faktor yang akan dan telah mengganggu masuknya investasi ke Indonesia sehingga perlu ada boikot.

Satu sisi, alasan itu dapat dipahami sebagai yang benar mengingat telah menjadi kelaziman prasyarat tumbuhnya iklim investasi bahwa iklim investasi yang baik memang ditentukan salah satu faktornya adalah keamanan. Artinya, merepetisi gambar-gambar kerusuhan dan narasi Indonesia seolah sedang menuju negara gagal menggambarkan kondisi negeri Indonesia tidak aman dan kurang nyaman untuk berinvestasi. Namun, sisi lain belum tentu demikian, misalnya saja sisi hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks HAM, ajakan pemboikotan tersebut, lebih-lebih jika ajakan itu telah dilaksanakan secara manjur, tentu menjadikan iklim pemajuan dan pemenuhan HAM warga negara Indonesia menjadi kurang sehat, terutama dalam hal tidak terpenuhinya akses informasi yang luas, fakta akurat, dan data valid yang ada dan dimiliki pejabat pemerintahan dan lembaga negara. Padahal, media pers itulah yang selama ini mampu menjembatani kelancaran arus lalu lintas informasi, fakta, data dari pemerintah ke masyarakat luas sebagai satuan warga negara Indonesia, dan tentu sebaliknya.

Human Rights Convention
Convention yang dimaksud di sini adalah Constitutional Convention on Human Rights yang baik secara durasi (duration), konsistensi (consistency), kesamaan (similarity), dan kelaziman (generally) bahwa pengaturan HAM telah menjadi sebuah kemapanan lama dalam konstitusi Indonesia. Sebut saja misalnya, secara konstitusional HAM telah menjadi kesepakatan nasional bangsa Indonesia, sekadar mengingatkan dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Kemudian secara berturut-turut dalam konstitusi yang pernah diberlakukan adalah sebagai berikut: dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949, disebutkan pada Pasal 19 bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat (the right to freedom of opinion and expression), Undang-Undang Dasar Sementara 1950 disebutkan pada Pasal 40, bahwa adanya hak atas kebebasan kebudayaan dan ilmu pengetahuan (the right to culture and scientific freedom). Setelah itu, dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945.

Bahkan, upaya melindungi hak dasar manusia yang disebut HAM warga negara Republik Indonesia telah menjadi tuntutan dalam kehidupan berdemokrasi yang berlangsung sejak era reformasi 1998. Hitung saja pengaturannya, saat itu, bangsa Indonesia melalui wakil-wakilnya di MPR telah mengambil suatu sikap tegas dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengesahkan ketetapan No XVII/MPR/1998 mengenai HAM yang memuat Piagam HAM, diikuti pula perubahan tahap kedua UUD 1945 yang memasukkan pasal-pasal mengatur tentang pemajuan dan perlindungan HAM. Ada muatan materi HAM dalam perubahan tahap kedua UUD 1945, misalnya Pasal 28 F Bab XA, bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Dengan demikian, dalam durasi 66 tahun sejak 1945 hingga 2011 ini konstitusi kita telah secara konsisten tidak pernah meninggalkan hak kebebasan warga untuk memperoleh akses informasi, fakta, data dari media dan lebih-lebih era reformasi ini. Dan, jika ajakan itu manjur dan benar-benar dilaksanakan, berarti sebagian kebebasan warga negara untuk mengakses informasi, fakta, dan data tentang siapa (pejabat pemerintah) melakukan apa, apa yang sedang dan telah terjadi di lingkungan pemerintahan menjadi terganggu dan tersumbat karena informasi dan fakta tidak sampai pada rakyat banyak. Dengan kata lain, ajakan demikian itu dapat dikatakan kurang sehat dan jauh dari maksud konvensi tentang kebebasan untuk memperoleh informasi, fakta, data yang telah jelas diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, dalam konteks HAM, satu hal yang perlu disadari adalah, bagi pihak pers, ada sebagian mata acara/tulisan media pers yang mengganggu keberadaan hak orang lain termasuk penyelenggara pemerintahan, dan pada saat sama ajakan boikot itu juga mengganggu hak asasi orang lain, bahkan dapat lebih luas, dalam, dan jauh lagi implikasinya.

Boikot dari rakyat
Rakyat sebenarnya juga tidak lugu-lugu amat dalam mengakses informasi media cetak dan elektronik. Katakanlah isu kerusuhan beberapa hari lalu, pemirsa pun juga jenuh karena pelakunya diduga itu-itu juga. Selain itu, usulan hak angket mafia pajak yang sering dipapar berulang-ulang oleh media cetak dan elektronik menampilkan anggota dewan teriak-teriak dan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pemirsa pun jenuh dan mengalihkan salurannya ke acara yang lebih bisa mengundang tawa daripada stres karena yang teriak-teriak toh itu-itu juga orangnya. Pendek kata, ajakan boikot dari atas tidak akan efektif dan justru akan berimplikasi pada seretnya pemajuan dan pemenuhan HAM dan kurang konsisten dengan konstitusi. Biarkan boikot itu datang dari rakyat. Dan, Jawablah kritikan itu dengan 'bekerja habis-habisan'.

0 komentar:

Posting Komentar