Perumahan Berperan dalam Kemacetan

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama ini kemacetan Jakarta selalu dikaitkan dengan pertumbuhan jalan yang lambat serta kenaikan pengunaan kendaraan pribadi yang begitu tinggi.
Padahal, menurut pengamat kebijakan publik, Andrinof Chaniago, penyebab mendasar kemacetan di Jakarta karena sektor perumahan yang belum terpenuhi dalam pembangunan ibukota.
"Bidang yang terkait langsung dengan transportasi adalah sektor perumahan. Tapi, kebijakan perkotaan kita selalu mengabaikan atau menyediakan peran kecil pada peran pemerintah akan tanah dan perumahan. Sebagian besar dari kita melihat hubungan sebab akibat soal kemacetan keliru," ungkap Andrinof, Jumat (4/3/2011), dalam diskusi "Perseteruan SBY dan Foke, Mengurai Persoalan Infrastruktur", di Galeri Cafe, Jakarta.
Ia menjelaskan, saat ini kemacetan di Jakarta disebabkan mulai padatnya penduduk di ibukota serta tingginya angka mobilisasi warga dalam sehari. Tercatat penduduk Jakarta saat siang hari mencapai 11 juta jiwa, sementara di saat malam hari mencapai 8-9 juta jiwa.
Angka tersebut menandakan ada sebanyak 1-2 juta warga yang berasal dari luar kota. Sementara angka mobilisasi mencapai 26 juta sehari. Dengan semakin tingginya mobilisasi, penggunaan kendaraan pribadi semakin tinggi lantaran angkutan umum juga belum memadai.
"Angkanya tidak akan sebesar itu kalau mereka punya tempat tinggal dekat dengan tempat kerjanya, seperti di Singapura paling lama sampai kantor 30 menit. Industri mobil atau motor juga tidak bisa disalahkan, karena mereka terpaksa pakai motor atau mobil karena perjalanan jauh akibat rumah yang berada di pinggiran seperti di Bojong Gede ," ungkap Andrinof.
Dengan demikian, kepadatan penduduk semakin terjadi demikian pula dengan angka arus kendaraan pribadi yang masuk ke Jakarta. Maka terjadilah kemacetan. Oleh karena itu, untuk memangkas mobilitas yang begitu tinggi tersebut, Andrinof menyarankan pemprov harus bertindak tegas soal penyediaan lahan untuk tempat tinggal.
"Salah satunya dengan morotarium izin bangunan pencakar langit dan dorong terbitkan izin bangunan untuk rusun. Jadi dengan begitu akan tumbuh rusun, serta bangunan-bangunan tinggi akan menyingkir ke pinggir Jakarta, karena sekarang kota ini sudah terlalu padat," ujarnya.
Hal lain yang perlu diubah, lanjut Andrinof, adalah paradigma masyarakat akan tempat tinggal. "Pola pikir feodal kalau rumah harus ada pekarangan harus diubah. Masyarakat harus siap dengan ruang yang sangat efisien," tuturnya.
Langkah konkret lain yang bisa dilakukan pemprov, ungkap Andrinof adalah dengan menyisakan APBD senilai Rp 1 triliun untuk dana pembangunan apartemen murah.
"Bangunlah apartemen murah seperlunya, hapus istilah rumah susun, karena itu diskriminatif. Pemerintah harus ambil peran yang tepat dalam hal pengadaan rumah kalau mau ingin menuju kota besar," tandasnya.

0 komentar:

Posting Komentar