Nilai Kebinekaan yang Pudar dan Kekerasan Atas Nama Agama

Peristiwa kekerasan di negeri ini kembali terjadi. Hal ini menyusul penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, dan pembakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah. Kedua kekerasan itu bukan peristiwa baru di negeri ini karena kekerasan serupa selalu muncul dan kerap mengorbankan kelompok-kelompok minoritas. Kekerasan atas nama agama atau apa pun merupakan bagian dari ancaman terhadap Bhinneka Tunggal Ika (berbeda, tetapi tetap satu), filosofi negara tercinta ini.

Mitos bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dijuluki ramah dan halus budi pekerti seakan terpatahkan. Kini, anak bangsa seakan sudah terperangkap dalam menawarkan upaya dengan menggunakan kekerasan dan terkadang dengan mendalihkan ajaran agamanya, entah itu benar atau tidak, rasional atau emosional.

Lalu mengapa semua itu bisa terjadi? Mengapa bangsa yang katanya berbudi luhur, ramah dan entah kualifikasi apa yang hendak diberikan kepada bangsa ini menjadi semacam homo homini lupus dalam hampir seluruh bidang kehidupan, termasuk bidang spiritual, dari strata atas sampai pada yang di bawah. Tentu akan ada banyak jawaban yang dapat diberikan, bergantung dari sudut pandang dan pangkal tolak analisis. Tetapi satu hal yang mungkin dapat dipakai untuk pokok bahan renungan kita semua tanpa kecuali: rasa persaudaraan sesama anak bangsa saat ini sudah memudar. Ikatan persaudaraan sesama anak bangsa yang disimbolkan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika sedikit demi sedikit kian memudar. Egoisme dan fanatisme sempit kian menguat.

Kekerasan yang terjadi di Cikeusik dan Temanggung jangan sekadar dipandang dari permasalahan agama. Negeri ini akan terjebak dan terjerumus ke dalam 'lubang fundamentalisme' jika melihat kekerasan di Cikeusik dan Temanggung atau tempat-tempat lain dari kacamata agama. Padahal, negara ini dibangun bukan untuk penganut agama tertentu atau suku tertentu, melainkan untuk semua anak bangsa dengan pelbagai perbedaan.

Dari sisi teori, banyak faktor penyebab tindakan kekerasan dalam suatu masyarakat. Namun dalam perkara ini, penulis sepakat dengan pernyataan Hassan Hanafi dalam bukunya Agama, Kekerasan & Islam Kontemporer (2001), bahwa kekerasan merupakan antitesis dari ketidakadilan dan ketertutupan pemerintahan. Kekerasan muncul untuk mempertahankan eksistensi nilai-nilai kemanusiaan karena situasi ketidakadilan sosial. Sangat mungkin terjadi jika institusi politik (pemerintahan) yang tidak dipercaya.

Tindakan kekerasan dimulai setidaknya dari beberapa fase yakni, pertama, adanya perasaan mendalam dari individu atau kelompok akan ketidakadilan dan keputusasaan; kedua, ketidakberdayaan individu atau kelompok dalam mengubah ketidakadilan tersebut melalui segala cara tanpa kekerasan; ketiga, ketiadaan dialog antara pelaku ketidakadilan dan korbannya, atau mungkin ada namun sekadar dialog semu (bisu).

Kekerasan akan terus terulang jika situasi ini terjadi bahkan dibiarkan pengelola institusi politik (pemerintahan). Supremasi hukum dan konstitusi yang seharusnya ditegakkan akan tetapi diabaikan aparatur negara. Negara yang seharusnya melindungi setiap warga negaranya, baik kaum mayoritas maupun minoritas, akan tetapi terlihat sebagai penonton ketika meletus peristiwa kekerasan. Kondisi ini seakan terbukti ketika Foreign Policy memperkirakan peringkat Indonesia dalam indeks negara gagal pada 2011 akan naik dari peringkat 62 yang dicapai pada 2010. Peringkat itu membuat posisi Indonesia masuk pada kategori 'dalam bahaya'. Artinya, jika berbagai masalah tidak segera tertangani, negeri ini akan masuk hitungan 60 negara gagal.

Peran pemerintah

Pada suatu kesempatan, peraih nobel bidang ekonomi Amartya Sen (1998) pernah memberikan nasihat kepada akademisi, pelaku politik termasuk para pengelola institusi politik (pemerintahan). Dalam nasihat itu, dia mengemukakan,"Ketidakadilan merupakan ciri penting dalam terjadinya kelaparan dan krisis hebat lainnya. Tentu saja, ketiadaan demokrasi (keterbukaan informasi) dengan sendirinya merupakan ketidakadilan, dalam hal ini ketidakadilan dalam soal hak ekonomi dan kekuatan politik. Akan tetapi kita harus melihat secara khusus hubungan antara (1) ketidakadilan politik dalam bentuk pemerintahan nondemokratik dan (2) pemiskinan dan ketimpangan ekonomi terjadi akibat ketidakadilan ekonomi yang parah dan terkadang meningkat dengan tiba-tiba."

Dengan nasihat itu, Sen memiliki keyakinan bahwa hanya dengan menerapkan sistem demokrasi menjadi langkah utama untuk mengurangi angka kemiskinan dan menutup pintu ketidakadilan. Demokrasi menuntut adanya pemerintahan yang terbuka (open government), di mana terdapat keterbukaan informasi publik. Begitu pentingnya keterbukaan informasi, hingga beberapa kalangan menyebutnya hak keterbukaan informasi publik ini sebagai 'oksigen demokrasi'. Sebab tanpa penegakan hak atas informasi, kewenangan yang telah diberikan kepada negara tidak disertai dengan mekanisme untuk mempertanggungjawabkannya kepada publik.

Konsep open government bisa dilaksanakan hanya dengan melakukan reformasi birokrasi. Karena itu, pelaksanaan reformasi birokrasi sepenting peningkatan kesejahteraan masyarakat. Membahas reformasi birokrasi sama artinya dengan mengupayakan restrukturisasi dan reposisi sistem dan perilaku birokrasi pemerintah menuju tata kepemerintahan yang baik (good governance). Upaya semacam ini dilakukan setelah kita mengalami dan merasakan bahwa sistem dan perilaku selama ini tidak lagi sesuai dengan keinginan kita. Namun melakukan perubahan gaya organisasi yang sudah mapan tidak mudah.

Mengutip Miftah Toha, setiap upaya melakukan perubahan besar seperti melakukan restrukturisasi dan reposisi kelembagaan birokrasi publik yang seharusnya dilakukan dalam suasana reformasi ini tak ubahnya sebagai suatu perjalanan yang melelahkan. James Champy (1997) dalam tulisannya Preparing for Organizational Change, menyatakan perubahan organisasi itu ibarat suatu perjalanan. Bagi setiap pejabat publik pemerintahan, perjalanan tersebut merupakan perjalanan tanpa akhir.

Namun ada baiknya kita mengutip pernyataan Thomas Jefferson (1807), "Bila seseorang mendapat kepercayaan publik (menjadi pejabat publik), ia harus memandang dirinya milik publik (milik negara)". Pernyataan itu menegaskan bahwa esensi reformasi birokrasi adalah seorang yang diangkat menjadi pejabat publik diharuskan memiliki pemahaman bahwa dirinya merupakan milik publik sehingga tindakan dan kebijakan yang diambil harus berdasarkan kepentingan publik. Esensi reformasi birokrasi juga dapat diartikan mengubah manajemen pemerintahan dari berorientasi pada aspek pemerintahan (government) kepada kepemerintahan (governance).

Pada paradigma government orientasi kekuasaan masih kuat, peranan aktor masyarakat dan aktor nonpemerintahan belum berjalan secara optimal. Sedangkan pada paradigma governance terdapat perubahan management di mana ada kondisi mencairnya pemusatan kekuasaan baik vertikal maupun horizontal sehingga terjadi proses check and balance dengan rakyat. Perubahan aspek ini juga menandakan bahwa orientasi kekuasaan tidak lagi berpusat pada penguasa yang mengemudikan pemerintahan itu, melainkan pada proses di mana rakyat memegang peran utamanya. Pelayanan terbaik kepada rakyat menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi dihindari. Keadaan ini mengakibatkan asas demokrasi dan desentralisasi merupakan tuntutan yang mendesak (Muchlish Hamdi: 2009).

Patut ditekankan pula, berbicara birokrasi bukan berbicara individu (personal), namun berbicara birokrasi adalah berbicara sistem. Artinya, reformasi di tubuh birokrasi bukan hanya sekadar melakukan pembenahan person to person yang menjabat (pejabat), melainkan pembenahan sistem organisasi (lembaga pemerintahan). Paradigma inilah yang harus diluruskan. Terkadang jika muncul kasus di tubuh birokrasi, yang disorot hanyalah sekadar personal, bukan dilihat dari sistem yang ada di dalam tubuh birokrasi itu sendiri.

Dengan sistem birokrasi yang transparan, berorientasi kepada pelayanan publik, dan berorientasi kemaslahatan rakyat, peluang peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan terbuka lebar. Peluang tindak kekerasan yang berbungkus agama pada negara-negara yang memiliki tingkat kesejahteraan dan kemakmuran tinggi (developed country) kecil. Sebaliknya, pada negara-negara yang tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya rendah, praktik kekerasan tinggi. Karena itu, pelaksanaan reformasi tidak sekadar bertujuan membenahi sistem pemerintahan, akan tetapi turut mengurangi angka tindakan kekerasan dalam sebuah negara.

0 komentar:

Posting Komentar